FAQ  /  Tautan  /  Peta Situs
    08 09-2017

    1308

    Facebook ungkap kampanye disinformasi di jejaringnya

    Kategori Sorotan Media | Nur Islami
    Ilustrasi logo Facebook

    Facebook mengungkap sekitar US $100 ribu belanja iklan yang terhubung dengan akun-akun pelaku kampanye disinformasi di jejaringnya. Temuan ini menjawab tudingan bahwa mereka turut bertanggung jawab pada hasil Pilpres AS tahun lalu.

    Sejak Pilpres AS 2016 memilih Donald Trump sebagai pemenang, pertanyaan dan tudingan dialamatkan ke Facebook. Salah satunya, Rusia ikut mempengaruhi proses pemilihan melalui kampanye disinformasi di jejaring sosial temuan Mark Zuckerberg itu.

    Facebook tak menganggap remeh tudingan itu. Pada April 2017, tim keamanan mereka meluncurkan laporan yang menjelaskan apa saja upaya untuk menjaga berlangsungnya interaksi otentik antarpengguna, yang mencapai seperempat populasi manusia di bumi.

    Laporan yang ringkasnya disebut "Information Operations", itu menegaskan bahwa mereka memperluas fokus keamanan, dari aksi tradisional, seperti peretasan akun, malware, spam, dan penipuan finansial, hingga teknik yang lebih halus, termasuk upaya untuk memanipulasi wacana publik dan memperdaya pengguna.

    Sebagai tindak lanjut dari operasi tersebut, mereka telah melakukan kajian terhadap sejumlah aktivitas di Facebook, untuk mendalami apa yang sebenarnya terjadi. Laporan itu dipublikasikan pada Rabu (6/9/2017).

    Dalam laporan itu mereka mengakui--setelah mengkaji catatan penjualan iklan--ditemukan sekitar US $100 ribu belanja iklan sejak Juni 2015 hingga Mei 2017, yang berkaitan dengan sekitar 470 akun palsu dan Halaman ilegal.

    Analisis mereka menunjukkan, akun atau Halaman yang nilai belanjanya setara Rp1,3 miliar dalam 3.000-an iklan itu, saling terafiliasi satu sama lain. Sangat mungkin pengoperasiannya berasal dari Rusia.

    Menurut laporan New York Times, organisasi di belakang para akun tersebut adalah sebuah perusahaan Rusia bernama Internet Research Agency. Lembaga ini populer karena menggunakan akun-akun khusus untuk menyerang pihak lain, melalui media sosial maupun komentar di situs berita.

    Facebook melarang akun palsu atau yang tidak mewakili identitas yang sebenarnya. Karena itu, mereka telah menutup akun-akun atau Halaman yang mencurigakan tersebut.

    Ribuan iklan yang dijalankan para pelaku, tidak secara spesifik menyasar isu pemilihan presiden, pemungutan suara, atau kandidat tertentu. Kampanye miliaran itu lebih menyasar isu sosial dan politik, dan bertujuan untuk memecah belah. Misalnya memanaskan perdebatan tentang LGBT, rasialisme, imigran, hingga hak bersenjata.

    Sekitar seperempat dari iklan-iklan tersebut, ditargetkan secara spesifik untuk pengguna di wilayah tertentu, dan lebih banyak yang disebar pada 2015 daripada 2016. Namun Facebook tak memerinci, daerah mana saja yang dimaksud. Aksi akun-akun palsu lewat pesan memecah belah itu, konsisten dengan temuan yang dilaporkan April lalu.

    Dalam laporan terbaru Facebook itu, mereka juga menelisik iklan yang mungkin berasal dari Rusia--meski indikasinya sangat lemah. Misalnya, mereka menyasar iklan yang dipesan akun beralamat IP Amerika Serikat, tapi menggunakan setelan bahasa Rusia.

    Perilaku seperti itu tidak dilarang oleh Facebook, namun pelacakan dengan kriteria serupa, mereka menemukan sekitar 2.200 iklan bertendensi politis, dengan nilai kurang lebih US $50 ribu, atau setara Rp660 miliar.

    Temuan-temuan tersebut telah dilaporkan kepada otoritas di Amerika Serikat yang bertanggung jawab dengan investigasi kasus terkait. Facebook menyatakan berkomitmen untuk terus bekerja sama, selama masih diperlukan.

    Indonesia termasuk yang tengah serius menangani konten disinformasi di jejaring sosial Facebook. Salah satu kasus yang baru-baru ini terungkap, populer dengan istilah Saracen, merupakan jejaring yang diduga menyebarkan disinformasi dan hasutan lewat Facebook.

    Februari silam, dua delegasi Facebook sempat berkunjung ke kantor Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kemkominfo) untuk bertemu Menkominfo, Rudiantara. Pertemuan itu membahas penanganan penyebaran konten-konten memperdayai.

    Semuel Abrijani Pangerapan, Direktur Jenderal Aplikasi dan Informatika (APTIKA) Kominfo, mengatakan pihaknya akan lebih serius dan lebih cepat dalam menangani konten hoax yang dampaknya berbahaya.

    "Setiap pengajuan harus ada responsnya paling lama 1x24 jam. Dan memang harusnya bisa lebih cepat, karena dalam hitungan menit, artikel yang berisikan konten hoax bisa menjadi viral," ujarnya. Ia mengingatkan, Indonesia merupakan negara dengan jumlah pengguna Facebook terbesar ke-4 di dunia, mencapai 96 juta.

    Selama dua tahun terakhir, terhitung sudah ada 1.572 konten negatif yang dilaporkan Kemkominfo ke Facebook, namun yang sudah direspons--saat itu--mencapai 60 persen.

    Sumber : https://beritagar.id/artikel/berita/facebook-ungkap-kampanye-disinformasi-di-jejaringnya

    Berita Terkait

    Kemkominfo Tingkatkan Kemampuan Aplikasi PeduliLindungi

    Sampai hari ini, jumlah terkonfirmasi positif Covid-19 mencapai ratusan ribu orang. Angka ini terus bertambah dari hari ke hari. Selengkapnya

    Targetkan Transformasi Digital dalam 3Tahun,Kominfo Gagas 5 Langkah

    Pandemi Covid-19 membuat transformasi digital menjadi keharusan. Sesuai instruksi Presiden Joko Widodo, Pemerintah bahkan berkomitmen memper Selengkapnya

    Menkominfo: Keterbukaan informasi jadi modal pemerintahan digital

    Menteri Komunikasi dan Informatika Johnny G. Plate menyatakan keterbukaan informasi publik menjadi modal untuk mewujudkan pemerintahan digit Selengkapnya

    Prangko, Salah Satu Media Visualisasi Peristiwa Bersejarah Bangsa

    Sejarah panjang penggunaan prangko membuktikan bahwa prangko tidak hanya berfungsi sebagai alat pembayaran pengiriman pos, tetapi juga menja Selengkapnya

    SOROTAN MEDIA