FAQ  /  Tautan  /  Peta Situs
    12 08-2015

    18498

    Potret Pendidikan di Pelosok Negeri (2)

    Kategori Sorotan Media | sorotan.media

    Potret Pendidikan di Pelosok Negeri (2)BANDA ACEH - Anak-anak usia sekolah di Buloh Seuma, Aceh Selatan harus gigit jari ketika tiba saatnya melanjutkan ke SMA. Sekolah terdekat ada di desa tetangga yang sulit dijangkau. Urusan pendidikan memang sangat tertinggal di daerah terpencil ini. Bahkan, tidak ada guru yang berkenan menetap di sana, kecuali jika mereka berstatus guru daerah tertinggal.

    Potret serupa Buloh Seuma, juga terjadi di Pulo Aceh, kecamatan kepulauan di Aceh Besar. Ada dua pulau berpenghuni di sana yakni Pulo Breuh dan Pulo Nasi. Kondisi pendidikan di kedua pulau paling ujung Indonesia ini sama miris.

     

    Di Pulo Breuh yang berpenghuni sekira 5.000 jiwa, penduduk terbagi dalam 13 desa. Ada lima SD/sederajat di sana, serta dua SMP, masing-masing di Rinon dan Blang Situngkoh. SMA hanya ada di Blang Situngkoh. Perkara fisik bangunan tak masalah karena semua sekolah sudah permanen. Namun fasilitas dan ketersediaan guru membuat aktivitas belajar mengajar di pulau ini jauh dari harapan. Banyak guru enggan tinggal di sana.

     

    Selain itu, anak-anak yang berada di pelosok pulau seperti Meulingge, Rinon, Lapeng, Ulee Paya sulit menjangkau SMA, karena harus melewati gunung-gunung dan butuh waktu dua jam jika kondisi jalan bagus. Tak ada angkutan umum di sana. Akibatnya banyak anak-anak enggan melanjutkan ke SMA.

     

    Kondisi serupa terjadi di Pulo Nasi, pulau berpenduduk 1.400 jiwa. Pendidikan menengah tingkat atas hanya bisa ditempuh di SMAN 1 Pulo Aceh atau sering disebut SMA Pulo Nasi. Dari segi fisik bangunannya, SMA ini sudah permanen. Siswanya tak sampai 50 orang. Memiliki tiga ruang belajar dari Kelas X hingga XII. Ada perpustakaan dan laboratorium meski peralatan maupun buku-bukunya masih sangat terbatas. Juga tersedia akses internet, perangkat internet diberikan Kementerian Kominfo untuk Kecamatan Pulo Aceh yang ditempatkan di sekolah ini.

     

    Salah satu masalahnya pada ketersediaan guru yang masih terbatas. Sekalipun di sana sudah ada perumahan dinas guru, tak ada pengajar yang mau menetap. Mereka rata-rata tinggal di Banda Aceh, hanya mengisi jam mengajar di sana.

     

    Kepala SMAN 1 Pulo Aceh, Saifuddin, menjelaskan, ada 14 tenaga pengajar dan tujuh tenaga honorer di sekolahnya. Mereka sering membuat giliran mengajar, sehingga jika shift-nya habis, mereka bisa kembali ke Banda Aceh untuk menjenguk keluarga. Jatah mengajarnya diganti yang lain.

     

    Beberapa mata pelajaran seperti Geografi, Pendidikan Agama Islam, Kesenian dan Penjaskes belum ada guru. Untuk menyiasati kekurangan, guru lain mengajar rangkap. Saifuddin sendiri masih sering mengisi kekosongan guru lain, agar anak-anak didiknya tak terlantar. Dia merupakan guru bahasa Inggris yang sudah 15 tahun mengabdi di Pulo Nasi, tapi juga pernah mengajar Geografi, Agama, dan lainnya. Saifuddin menjadi kepala sekolah pada 2009.

     

    Menurut Saifudin, keterbatasan infrastruktur dan keterasingan Pulo Nasi membuat banyak guru malas menetap dan memboyong keluarganya ke pulau itu. Padahal dari segi kesejahteraan, guru bertugas di Pulo Nasi sangat menjanjikan. Selain gaji pokok, setiap bulan mereka juga dapat tunjangan mengajar di daerah terpencil senilai satu kali gaji pokok. Belum lagi tunjangan sulit hingga Rp750 ribu per bulan.

     

    “Dari segi itu sudah tidak masalah lagi, pemerintah sudah baik dalam hal ini, tapi kembali lagi ke jiwa pengabdian kita sekarang,” ujar Saifuddin yang mengaku betah mengabdi di Pulo Nasi.

     

    Mengabdi di pulau terpencil tak semudah berdinas di perkotaan. Selain harus beradaptasi dengan semua fasilitas terbatas, guru juga berhadapan dengan kerasnya kehidupan pesisir. Saifuddin merasakannya. Sejak ditugaskan di Pulo Nasi pada 2000 silam, lelaki asal Bambi, Pidie ini praktis hanya menghabiskan hidupnya untuk mengabdi pada negeri. Sebelumnya dia pernah tinggal di Jakarta selepas lulus dari Universitas Jabal Ghafur, Sigli, Aceh, dan tiga tahun bekerja di Korea Selatan dan Hongkong. Pengalaman hidup di kota besar menjadi bekal baginya melecuti semangat anak didiknya agar mau sekolah.

     

    Saat baru-baru berdinas di Pulo Nasi, kata Saifuddin, banyak orangtua enggan menyekolahkan anaknya. Dia pun bergerilya ke rumah-rumah, memberi pemahaman kepada para orangtua dan membujuk anak-anak untuk sekolah.

     

    “Saya ceritakan agar mereka tahu bahwa hidup ini butuh kerja keras, dan butuh waktu untuk sukses. Kesuksesan itu bisa dicapai lewat pendidikan, kalau masih muda sudah menyerah kita tidak akan pernah menikmati hasil (sukses),” ujarnya.

     

    Berkat kerja kerasnya itu, minat anak-anak Pulo Nasi untuk sekolah mulai tinggi dari SD hingga SMA. Bahkan dalam beberapa tahun terakhir tren melanjutkan pendidikan ke perguruan tinggi mulai tumbuh, terlebih dengan adanya beasiswa yang diberikan untuk siswa daerah tertinggal. Dalam tiga tahun terakhir beberapa anak didik Saifudin yang sudah selesai kuliah ikut mengabdi di Pulo Nasi, baik sebagai guru, tenaga medis, maupuan guide atau juru bahasa bagi turis. Ada juga yang memilih berdagang atau merantau.

     

    Saifuddin meminta pemerintah untuk terus meningkatkan mutu pendidikan di daerah-daerah terpencil seperti Pulo Nasi. Baik dengan fasilitas, maupun ketersediaan guru, serta rajin mengevaluasi distribusi pengajar.

     

    “Jangan hanya pengajar yang bermasalah di kota terus ditempatkan di pulau,” tukasnya.

     

    Pakar Pendidikan dari UIN Ar Raniry, Prof. Nasir Budiman menilai, ketimpangan pendidikan antara daerah terpencil dengan kawasan dekat perkotaan masih kentara terlihat. “Ini bukan hanya di Aceh, tapi seluruh Indonesia,” ujarnya.

     

    Nasir melihat, pembangunan pendidikan selama ini masih terlalu difokuskan di perkotaan dan wilayah dekatnya, sementara di pedalaman masih kurang perhatian. Hal itu menimbulkan dampak disparitas luar biasa, terutama dari segi mutu lulusan.

     

    Sementara itu Kepala Dinas Pendidikan Aceh, Hasanuddin Darjo mengatakan, pihaknya terus memerhatikan pendidikan di daerah-daerah tertinggal. Dari segi fisik bangunan sekolah diklaim sudah tak masalah lagi, sekarang fokus pihaknya meningkatkan mutu.

     

    “Pendidikan daerah tertinggal jadi prioritas kami,” ujarnya.

     

    Hal ini, kata dia, sudah menjadi salah satu fokus pembangunan Aceh dalam lima tahun ini sesuai dengan Rencana Pembangunan Jangka Menengah Aceh 2012-2017 yang memberikan perhatian khusus bagi daerah-daerah tertinggal.

     

    Sumber: http://news.okezone.com/read/2015/08/11/65/1193969/potret-pendidikan-di-pelosok-negeri-2

    Berita Terkait

    Kominfo Connect Wujudkan Visi Presiden Jokowi

    Pertemuan akbar tahunan sivitas Kementerian Komunikasi dan Informatika digelar untuk meningkatkan kerja sama dalam menjalankan tugas kemente Selengkapnya

    Ibu Kota Baru Langsung Menikmati Teknologi 5G

    Bisnis,com, JAKARTA - Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kemenkominfo) memastikan bahwa Ibu Kota baru akan menjadi kota pintar, didukun Selengkapnya

    Menebar Internet ke Pelosok Negeri Lewat Palapa Ring

    Jaringan telekomunikasi menjadi penting dalam sendi kehidupan. Pasalnya jaringan Internet yang berkualitas berdampak pada peningkatan aspek Selengkapnya

    4 Desa di Pelosok Kalsel Punya Fasilitas BTS

    Selengkapnya

    SOROTAN MEDIA