Ibukota Milik Kita Bersama
Paska mudik, problem lain berupa arus urbanisasi menimbulkan masalah baru. Seringkali pemudik membawa pulang keluarga dan rekan di kampong tanpa mempertimbangkan kemampuan mereka beradaptasi dengan kerasnya kehidupan di Jakarta. Akibatnya, terjadi lonjakan penduduk di Ibukota, yang kurang memiliki pendidikan dan pelatihan yang cukup untuk bisa mencari pekerjaan. Dalam jangka panjang, kondisi ini memperburuk kondisi kota dengan merebaknya pemukiman kumuh. Di sisi lain, Jakarta tidak lagi memiliki daya tampung memadai bagi penduduknya. Jika seharusnya daya tamping ibukota hanyalah 5-6 juta orang, maka yang terjadi saat ini adalah 9-12 juta orang menjejali kota ini dari siang hingga malam.
Tentu saja perpindahan ke kota bukanlah sesuatu yang bisa dilarang, sehingga tidak ada alasan untuk tidak memperlakukan mereka secara manusiawi, selama mereka mampu memenuhi kebutuhan hidup layak di Jakarta dan mematuhi aturan kependudukan. Karena itu, Pemerintah mensyaratkan agar pelaku urbanisasi memiliki keahlian dan pendidikan yang cukup untuk bisa mencari kerja. Selain itu, diberikan batas waktu tinggal maksimal 14 hari sebelum diberlakukan kewajiban mengurus surat izin sementara kepada RT, RW, dan kelurahan setempat untuk bisa tinggal sebulan lamanya mencari kerja.
“Selama orang mau pindah, KTP DKI saya bantu lho selama ada duitnya, ada kerja, saya bantu sudah,“ Basuki Tjahaja Purnama, Gubernur DKI Jakarta
Sumber: Suara.com http://www.suara.com/news/2015/07/03/095905/ahok-ajak-saudaramu-ke-jakarta-kalau-punya-duit