FAQ  /  Tautan  /  Peta Situs
    17 05-2017

    22611

    Perkuat Komitmen Kebangsaan dan Kesatuan dalam Bingkai Kebhinnekaan

    Kategori Artikel GPR | marroli

    JAKARTA (FMB9, 17/5) - Sebelum berdirinya Negara Kesatuan Republik Indonesia, para pendiri bangsa (founding fathers) telah berjuang membangun konsensus bersama untuk memberikan “Bangunan dan jiwa” dari negara yang akan baru lahir di bumi Nusantara.

    Setelah melalui dialog yang sangat panjang dalam dinamika ideologisasi, akhirnya  disepakati pondasi dasar dari negara yang baru lahir tersebut adalah; Pancasila, UUD Negara Indonesia 1945, Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) dan Bhinneka Tunggal Ika. Seiring perjalanan waktu, kesepakatan para pendiri bangsa itu disebut sebagai 4 (Empat) Konsensus Nasional.

    Dilihat dari jejak sejarahnya, pondasi ideologi berbangsa dan bernegara tersebut telah melalui sejumlah tantangan dan ancaman. Salah satunya gerakan separatis yang selalu muncul dari waktu ke waktu, mulai dari DI/TII dan RRI/Permesta, di masa lalu, hingga RMS dan OPM, di masa kini.

    Saat ini, di tengah munculnya Politik Identitas yang mengarah pada kontra ideologi bangsa, segenap masyarakat Indonesia diharapkan mampu melakukan penyegaran kembali, untuk mengenali dan memahami landasan ideologi bangsa yang akhir-akhir ini terasa mulai luntur, dan bahkan cenderung kehilangan makna.

    Penegasan tersebut disampaikan Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum dan Keamanan (Menko Polhukam) Jenderal TNI (Purn) Dr. Wiranto dalam Diskusi Media Forum Merdeka Barat 9 (FMB9) bertajuk “Upaya Pemerintah dalam Penegakan Empat Konsensus Nasional” di Gedung Stovia, Jakarta Pusat, Rabu (17/5/2017).

    Untuk itu, Jenderal (Purn) Wiranto meminta masyarakat berperan aktif mengambil bagian menolak paham baru atau paham lain yang akan menciptakan kekacauan idiologi yang pada gilirannya  membahayakan stabilitas keamanan yg merupakan bagian penting keberhasilan pembangunan nasional.

    Menko Polhukam memaparkan penyebab munculnya radikalisme dan terorisme kecuali pengaruh lingkungan global, euphoria kebebasan yang berlebihan,  penegakan hukum yang kurang kuat , juga sangat dipenggaruhi oleh disparitas  ketimpangan sosial ekonomi yang belum terselesaikan.

    Saat ini, menurut Menko Polhukam, tantangan dan ancaman terhadap kedaulatan sifatnya sudah multidimensi karena ancaman dapat bersumber dari ideologi, politik, ekonomi, dan sosial budaya.

     “Perkembangan kejahatan terorisme global telah menunjukkan peningkatan yang cukup signifikan, baik modus, kuantitas maupun kualitasnya. Kejahatan terorisme global itu disinyalir mempunyai hubungan dengan terorisme di banyak negara termasuk Indonesia. Hal itu terungkap dari fakta adanya keterkaitan dengan jaringan militan lokal dengan jaringan terorisme internasional,” papar Wiranto.

    Untuk bisa mewujudkan hal tersebut, seluruh rakyat Indonesia, khususnya generasi muda harus mampu memahami sekaligus mengaplikasikan Empat Konsensus Dasar tersebut dalam kehidupan sehari-hari, memiliki wawasan kebangsaan, berkarakter, beretika moral budaya dan rasa kebangsaan yang kuat.

    Terkait hal itu, Kementerian Koordinator Bidang Politik, Hukum dan Keamanan (Kemenko Polhukam) yang melibatkan Kementerian di bawah koordinasi telah menyiapkan sejumlah program dalam rangka pemantapan Empat Konsensus Dasar Bangsa (Empat Konsensus Nasional) tersebut.

    Yaitu, mendorong pembentukan Pusat Pusat Pendidikan Wawasan Kebangsaan (PPWK), Optimalisasi Forum Kerukunan Umat Beragama (FKUB), pembentukan Forum Kewaspadaan Dini Masyarakat (FKDM), pembentukan Forum Pembauran Kebangsaan (FPK), dan pembentukan Dewan Kerukunan Nasional (DKN).

    Selain itu, Pemerintah juga terus memantapkan program Revitalisasi Dewan Ketahanan Nasional (Wantannas) untuk melaksanakan tugas pembinaan bela negara, terlibat aktif dalam Gerakan Nasional Revolusi Mental, terlibat aktif dalam penyusunan Perpres Unit Kerja Presiden Pemantapan Ideologi Pancasila (UKP-PIP) serta pembentukan dan operasionalisasi Desk Pemantapan Wawasan Kebangsaan. 

     

    Program Prioritas Nawacita

    Menko Polhukam menegaskan upaya-upaya dalam rangka pemantapan wawasan kebangsaan telah menunjukkan capaian yang positif dengan makin meningkatnya pemahaman terhadap 4 (Empat) Konsensus Dasar, yaitu Pancasila, Undang Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945,  Bhinneka Tunggal Ika, dan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) oleh berbagai komponen masyarakat, termasuk kegiatan Pusat Studi Pancasila dan Wawasan Kebangsaan di beberapa perguruan tinggi.

     “Hal ini dapat dilihat dari makin meningkatnya peran masyarakat dalam mengembangkan wawasan kebangsaan melalui sosialisasi 4 (Empat) Konsensus Dasar,” ulas Wiranto.

    Terkait Kerukunan Umat Beragama, Menko Polhukam menjabarkan Kabinet Kerja di bawah kepemimpinan Presiden Joko Widodo (Jokowi) dan Wakil Presiden Jusuf Kalla (JK) sebagai pemimpin nasional memiliki komitmen yang kuat dalam upaya menjaga persatuan dan kesatuan bangsa, terutama untuk membendung intoleransi dan krisis kepribadian bangsa.

     “Komitmen tersebut tampak dari Sembilan prioritas program (Nawacita), di antaranya adalah melakukan Revolusi Mental Karakter Bangsa (Nawacita Nomor 8), serta Memperteguh ke-Bhinneka-an dan memperkuat restorasi sosial Indonesia (Nawacita Nomor 9). Khusus Nawacita memperteguh kebhinnekaan adalah dengan mewujudkan semboyan negara Bhinneka Tunggal Ika agar tercipta kerukunan antar warga dalam wadah NKRI,” jelas Wiranto.

    Sementara, Menteri Agama (Menag) Lukman Hakim Saifuddin mengingatkan soal Empat Konsensus Dasar Kehidupan Berbangsa dan Bernegara yang harus selalu dijaga, yakni Pancasila, UUD 1945, NKRI dan Bhinneka Tunggal Ika.

    Menurut Menag Lukman Hakim empat konsensus dasar bernegara itu memiliki ruang lingkup sangat luas dalam kehidupan berbangsa dan bernegara.

    "Sosialisasi terkait empat hal ini penting dan harus senantiasa kita re-aktualisasi karena kehidupan kita senantiasa berkembang dan dinamis," ujar Lukman.

    Menag menjelaskan, saat ini sosialisasi konsensus itu memiliki tingkat urgensi makin tinggi karena masyarakat terus berkembang, terlebih di era globalisasi yang tanpa batas atau borderless seperti sekarang ini.

    Tak hanya itu, Menag juga menegaskan jika NKRI merupakan suatu keniscayaan bagi bangsa Indonesia. Meski terdiri dari latar belakang yang beragam, namun dapat bersatu. Karena itu, konsepsi Bhinneka Tunggal Ika adalah bagaimana keragaman disikapi dengan penuh kearifan.

    "Menjaga persatuan Indonesia adalah menjaga keragaman itu sendiri. Karena keragaman adalah sunatullah, keragaman tidak hanya untuk saling mengisi namun juga dapat menjadikan kita lebih arif dan memperluas perspektif kita," ulas Lukman.

    Jika mengacu pada keempat pilar tersebut, sudah seharusnya masyarakat Indonesia tidak lagi mempermasalahkan perbedaan agama, ras, suku, golongan, kelompok, dan lain sebagainya.

     “Terlebih, kemerdekaan yang telah dinikmati selama 71 tahun, seharusnya bisa memberikan pelajaran bagi masyarakat untuk bisa lebih hidup rukun,” pinta Lukman.

     

    Tradisi Lisan Menjaga Kerukunan

    Sesungguhnya, menurut Menag, Indonesia berada pada urutan terdepan negara-negara dunia dalam konteks kerukunan. Banyak negara mengakui keberhasilan Indonesia dalam menjaga harmoni dalam kemajemukan.

    Pernyataan tersebut, merupakan hasil penelitian Badan Litbang Kementerian Agama (Kemenag) yang menyatakan kerukunan Indonesia tidak terlepas dari kekayaan kearifan lokal yang telah diwariskan pendahulu bangsa sejak ratusan tahun lalu. Kekayaan kearifan lokal itu, antara lain berupa tradisi lisan yang sarat akan nilai dan pesan kerukuan, persatuan, dan kesatuan.

    Tradisi lisan di daerah yang menjadi bagian dari kearifan lokal mempunyai korelasi dengan kerukunan daerah. Tradisi itu terbukti menjadi perekat kerukunan warga dan karenanya bisa dijadikan bahan kampanye perdamaian nusantara.

    Merujuk pada hasil penelitian Balai Litbang Keagamaan DKI Jakarta yang dilakuan sejak awal tahun ini. Penelitian yang bertajuk “Nilai Keagamaan dan Nilai Kerukunan dalam Tradisi Lisan Nusantara” mengungkap data dan fakta bahwa suku-suku bangsa di Indonesia sangat agamis dan rukun.

    Masyarakat Indonesia juga memiliki kekhasan dalam beragama yang terkait dengan kebudayaannya, dan salah satu wujudnya adalah tradisi lisan. Tradisi lisan itu diwariskan secara turun-temurun menjadikan pesan keagamaan dan kerukunan lebih mudah disampaikan dan diterima.

    Ada delapan wilayah yang dijadikan sasaran penelitian, yakni: Jakarta, Banten, Bandung, Cirebon, Lampung, Sumatera Selatan, Sumatera Barat, dan Kepulauan Riau. Penelitian dilakukan dengan menggali nilai keagamaan dan kerukunan yang tersirat dalam tradisi lisan pada sejumlah tradisi, yaitu: Ritual Akikah di Jakarta, Tradisi Panjang Mulud di Banten, Petatah-Petitih Sunan Gunung Jati di Cirebon, Tradisi Warahan di Lampung, Tradisi Tadud di Sumatera Selatan, Tradisi Teater Rakyat Mendu di Natuna Kepulauan Riau, dan Tradisi Pasambahan di Sumatera Barat.     

    Artinya, potensi harmoni di Indonesia jauh lebih kuat dibanding potensi disharmoni atau intoleransi. Maka, tidak aneh jika hasil penelitian tersebut, termasuk soal KUB, indeks kerukunan 2015 mencapai 75,36%, Tahun 2016 meningkat menjadi  75,47%. Bahkan, yang nomor satu seperti di NTT dan Bali di atas 80%. (*)

    Berita Terkait

    Forum Bakohumas Kemenkes 2023: Bersama Gaungkan UU Kesehatan kepada Masyarakat

    Selengkapnya

    BP Batam Kenalkan Potensi Investasi Batam Dalam Forum Bakohumas

    Selengkapnya

    Sambut HAN 2022, Menteri PPPA Serukan Komitmen Pemenuhan Hak Anak dan Perlindungan Khusus Anak

    Selengkapnya

    Pahami dan Rencanakan Kesehatan Reproduksi Dengan Nyaman

    Selengkapnya

    SOROTAN MEDIA