FAQ  /  Tautan  /  Peta Situs
    26 04-2016

    3075

    Negara-negara Ekonomi Terbesar Bahas Pengurangan Emisi untuk Mengurangi Dampak Perubahan Iklim

    Kategori Berita Pemerintahan | vera002

    Jakarta, 26 April 2016 – Sebanyak tujuh belas negara berekonomi besar yang juga memiliki emisi gas rumah kaca (GRK) paling besar (80% dari total emisi GRK dunia) bertemu di New York, Amerika Serikat pada kegiatan Major Economies Forumon Energy and Climate (MEF) untuk membahas langkah pengurangan emisi gas rumah kaca. Indonesia merupakan salah satu negara anggota MEF yang hadir dalam pertemuan tersebut dipimpin oleh Utusan Khusus Presiden untuk Pengendalian Perubahan Iklim (UKP-PPI), Rachmat Witoelar beserta perwakilan dari Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan, Kementerian Luar Negeri, dan Kepala Pusat Riset Perubahan Iklim Universitas Indonesia.

    MEF telah dilaksanakan pada tanggal 23 dan 24 April 2016, sehari setelah penandatanganan Kesepakatan Paris oleh 175 Negara Pihak di markas besar PBB di New York, Amerika Serikat.

    Pertemuan MEF ini berfokus pada pembahasan tentang proses ratifikasi hasil dari konferensi global perubahan iklim di Paris bulan Desember tahun 2015 atau yang dikenal sebagai Kesepakatan Paris (Paris Agreement) mengenai upaya global pengendalian perubahan iklim. Selain itu, MEF juga membahas tentang prioritas pada konferensi global perubahan iklim berikutnya (Conference of Parties/COP ke-22) di Marakesh, Maroko pada akhir tahun 2016. Negara peserta juga berdiskusi mengenai upaya nasional terkait implementasi aksi pengendalian perubahan iklim serta perkembangan pembahasan Protokol Montreal terkait penggunaan gas hydrofluoro carbon (HFC) pada pendingin ruangan serta pengurangan emisi dari industri penerbangan.

    Rachmat Witoelar dalam pertemuan tersebut menyampaikan beberapa perkembangan di Indonesia terkait proses ratifikasi Kesepakatan Paris; harapan untuk COP ke-22 di Marakesh; dan upaya nasional terkait pengendalian perubahan iklim.

    Terkait ratifikasi Kesepakatan Paris, Rachmat menyatakan, “Saya berharap Indonesia dapat segera memasuki proses ratifikasi. Indonesia harus jadi salah satu dari 55 negara pertama yang melakukan ratifikasi. Ini sebagai upaya untuk menunjukkan keseriusan Indonesia menangani perubahan iklim. Beberapa negara lain sudah menyampaikan janji akan menyelesaikan proses ratifikasi sebelum COP ke-22 di Marakesh, November 2016 nanti”.

    Selain itu, Rachmat Witoelar juga menekankan pentingnya keterlibatan aktor nonpemerintah (non-state actors) untuk meningkatkan aksi pengendalian perubahan iklim. “Jika lebih banyak pihak bisa terlibat dalam aksi pengendalian perubahan iklim, potensi kerjasama baik di tingkat lokal, nasional, maupun internasional bisa terbuka lebar. Ini akan meningkatkan skala aksi dan mempercepat implementasi. Kita sudah tidak bisa menunda-nunda lagi, karena makin lama kita menunda, dampak perubahan iklim dan biaya yang harus kita tanggung akan semakin meningkat.”

    Rachmat Witoelar juga mengingatkan bahwa komitmen masing-masing negara yang disampaikan pada Conference of Parties ke-21 tahun lalu masih kurang untuk mencapai tujuan mencegah kenaikan suhu permukaan rata-rata bumi lebih dari 2°C. “Kesepakatan Paris merupakan momentum penting untuk memberi sinyal bagi pemerintah dunia, masyarakat, dan terutama sektor bisnis bahwa seluruh dunia serius mengendalikan perubahan iklim dan tidak ada pilihan lain bagi semua pihak kecuali melakukan pembangunan yang rendah karbon. Namun, mengingat komitmen negara-negara kemarin masih jauh dari target mencegah kenaikan 2°C, maka semuanya harus meningkatkan aksi dari waktu ke waktu. Semua aksi dan peningkatan aksi ini akan dilaporkan pada UNFCCC melalui mekanisme yang akan dibahas pada COP ke-22 di Maroko agar kita semua bisa tahu seberapa jauh lagi yang harus kita lakukan. Saya selalu optimis jika semua pihak terlibat dan benar-benar meningkatkan aksi, umat manusia bisa mencapai target tersebut.”

     

    Tentang the Major Economies Forum (MEF):

    Major Economies Forum on Energy and Climate (MEF) atau Forum Ekonomi Utama mengenai Energi dan Iklim dibentuk pada tanggal 28 Maret 2009 bertujuan untuk memfasilitasi dialog antara negara maju dan berkembang yang berekonomi besar serta memiliki emisi gas rumah tangga yang tinggi. Hal ini dimaksudkan untuk menciptakan kepemimpinan politik yang dibutuhkan untuk mencari kesamaan pandangan yang diharapkan dapat membantu proses negosiasi internasional perubahan iklim. Selain itu, MEF juga ditujukan untuk mengeksplorasi solusi dan kerjasama untuk ketersediaan energi bersih sekaligus untuk mengurangi emisi gas rumah kaca.

     

    Negara anggota peserta MEF berjumlah 17 antara lain: Australia, Brasil, Kanada, Cina, Uni Eropa, Perancis, Jerman, India, Indonesia, Italia, Jepang, Korea Selatan, Meksiko, Rusia, Afrika Selatan, Inggris, dan Amerika Serikat. *

    Berita Terkait

    Wapres Bahas Peningkatan Kerja Sama dengan Menteri Energi dan Infrastruktur PEA

    Wapres mengharapkan bahwa kerja sama ini tidak hanya terbatas pada lingkup universitas, tetapi juga merambah kalangan pesantren. Sehingga, p Selengkapnya

    Bertemu Menhan, Presiden Terima Laporan Perkembangan Situasi Bidang Pertahanan

    Dalam bidang industri pertahanan, Menhan Prabowo menyampaikan laporan kemajuan PT Dirgantara Indonesia (DI) yang makin baik. Selengkapnya

    Presiden: Sensus Pertanian 2023 untuk Akurasi Kebijakan

    Sensus Pertanian 2023 ini menghasilkan data terkini, akurat, dan terpercaya mengingat pertanian merupakan sektor yang strategis bagi perekon Selengkapnya

    Wapres Tekankan Arti Penting Mitigasi Dampak Perubahan Iklim

    Dalam program Kampung Bahari Nusantara (KBN), TNI AL juga turut berfokus pada isu keberlangsungan lingkungan dan perubahan iklim. Selengkapnya

    SOROTAN MEDIA