Jalan Terang Indonesia Sejahtera
Bila kita menyusuri jalur selatan Jawa, mulai Wonogiri sampai memasuki Blitar, kota kelahiran Bung Karno, maka rasa cinta tanah air kita sem Selengkapnya
Menelusuri kembali sudut-sudut Kota Surabaya setelah lima tahun ditinggalkan, membuat mata Heri Rubiyanto (37) terbelalak takjub. Tempat-tempat yang
dulu ia kenal jorok dan kumuh, kini sebagian besar terlihat bersih dan asri. Terminal Joyoboyo yang dulu semrawut dan berbau sampah misalnya, kini jauh lebih “manusiawi”. Bahkan kawasan Rolak Jagir yang dulu penuh pemukiman liar centang-perenang, kini terlihat kinclong tertata apik. Di semua tempat yang ia kunjungi, tanaman dan aneka bunga berjajar rapi. Got dan pematusan air tak lagi mampet. Dan yang pasti, hampir seluruh wilayah bebas sampah.
“Saya sungguh takjub melihat tempat kumuh di Surabaya yang jumlahnya berkurang drastis. Dibanding tahun-tahun sebelumnya, Surabaya
sekarang jauh lebih bersih, dan tentu saya yakin penduduknya juga lebih sehat,” ujar pria yang kini bekerja di Pemprov DKI Jakarta ini.
Sebagai kota terbesar nomor dua di Indonesia, Surabaya memang tak luput dari sasaran urbanisasi. Para pendatang bukan saja berasal dari Madura dan wilayah “tapal kuda”—sebutan untuk kota-kota di sekitar Surabaya— namun juga dari kota-kota lain di Indonesia. “Saya sendiri berasal dari Madiun, jadi
termasuk pendatang juga,” ungkap lelaki yang akrab dipanggil Heri ini.
Menurut Heri, tujuan para pendatang masuk Surabaya tak lain tak bukan adalah ingin mengubah nasib. Mereka berharap kehidupan di Surabaya lebih baik daripada di daerah asal. Namun karena keadaan sosial ekonomi para pendatang ini rata-rata rendah, terlebih mayoritas tidak memiliki keterampilan
memadai, akhirnya justru terdampar di tengah kota.
“Merekalah yang pada akhirnya menjadi gelandangan dan pengemis, menjadi pemulung, pedagang asongan, dan penghuni gubuk-gubuk
reot di pinggir kali atau pinggir jalan,” tutur Heri.
Meluas Karena Permisif
Salam (63) adalah salah satu pendatang asal Tanah Merah, Kabupaten Bangkalan, Madura. Selama ini ia menetap di sebuah gubuk beratap
terpal di bilangan Bubutan, tak jauh dari Mapolsek Surabaya Utara. “Saya sudah 28 tahun menetap di tanah kosong di pinggir jalan sini sambil jualan
rokok,” ujarnya.
Ia mengaku sudah tak terhitung ditegur Satpol PP dan masyarakat sekitar, karena gubuk yang ia bangun dinilai mengganggu lingkungan.
“Tapi mau bagaimana lagi, saya bisanya cuma membangun gubuk yang begini. Mau pulang ke Madura juga tidak punya tempat tinggal. Kalau
digusur ya saya pasrah saja, wong nyatanya saya tinggal di tanah yang bukan milik saya,” akunya.
Kenyataannya, Salam bisa tetap tinggal di gubuk reotnya selama puluhan tahun. Bukan hanya ia seorang, tapi juga bersama Patimah, istrinya, dan empat orang anaknya. Semua berbagi tempat di gubuk berukuran 3 x 4 meter yang kondisinya jauh dari standar layak.
Masyarakat memang terkesan membiarkan para pendatang ini membangun permukiman liar karena alasan kemanusiaan. Namun dampaknya, “pembiaran” itu mendorong banyak orang ikut-ikutan membangun gubuk di sekitar gubuk Salam. “Akhirnya di sini berdiri 14 gubuk yang dihuni ratusan orang. Meluas,
seperti kampung saja. Tapi kondisinya memang kumuh karena tidak dilengkapi fasilitas seperti listrik, air bersih, dan sarana lainnya,” imbuhnya.
Tahun 2016, lingkungan kumuh di kawasan Bubutan ditata ulang oleh Pemkot Surabaya. Salam dan seluruh warga yang tinggal di situ direlokasi ke rumah susun yang disediakan Pemkot. “Alhamdulillah, tempat tinggal saya sekarang jauh lebih bersih dan sehat. Tempat yang saya tinggalkan juga menjadi lebih bersih dan rapi, tak ada lagi bangunan kumuh dan sampah berserakan di sana,” pungkasnya.
Amanat Konstitusi
Merujuk pada isi pasal 28H ayat 1 Undang-Undang Dasar Tahun 1945, setiap orang memang memiliki hak untuk hidup sejahtera lahir dan batin, bertempat tinggal, dan mendapatkan lingkungan hidup yang baik dan sehat, serta berhak memperoleh pelayanan kesehatan.
“Pemerintah selaku penyelenggara negara tentu harus menjamin terpenuhinya kebutuhan rumah atau hunian yang layak bagi masyarakat sebagaimana diamanatkan oleh konstitusi,” ujar Menteri Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat, Basuki Hadimuljono, beberapa waktu lalu.
Khusus soal permukiman kumuh, Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 2011 tentang Perumahan dan Kawasan Permukiman menyebutkan bahwa permukiman kumuh adalah permukiman yang tidak layak huni karena ketidakteraturan bangunan, tingkat kepadatan bangunan yang tinggi, dan
kualitas bangunan serta sarana dan prasarana yang tidak memenuhi syarat.
Dalam kenyataannya, masih banyak masyarakat yang tinggal di permkiman kumuh karena berbagai alasan. Oleh karena itu, melalui Program Nawa Cita khususnya upaya membangun Indonesia dari pinggiran dengan memperkuat daerah-daerah dan desa dalam kerangka negara kesatuan, Presiden Joko Widodo memiliki visi meningkatkan kualitas permukiman kumuh, mencegah tumbuhnya permukiman kumuh baru dan penghidupan yang berkelanjutan. Hal ini juga didukung dengan membangun dan mengembangkan kawasan perkotaan melalui penanganan kualitas lingkungan permukiman.
Demi mendukung dan terlaksananya visi tersebut, pemerintah melalui Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat, Direktorat Jenderal Cipta Karya, telah mengeluarkan Surat Edaran Nomor: 40/SE/DC/2016 tentang Pedoman Umum Program Kota Tanpa Kumuh (Kotaku), yang telah diluncurkan pada tanggal 27 April 2016 lalu.
Jangan Ada Lagi Kumuh
Kotaku adalah program strategis yang sasarannya adalah tercipta pengentasan permukiman kumuh perkotaan menjadi 0 Ha (tidak ada sama sekali) melalui pencegahan dan peningkatan kualitas permukiman kumuh seluas 38.431 Ha.
Dalam pelaksanaannya, Program Kotaku ini dipimpin langsung oleh pimpinan daerah dan dirancang bersama pemerintah daerah
demi mewujudkan permukiman layak huni dan berkelanjutan. Program ini di antaranya dilakukan dalam bentuk Gerakan 100-0-100 di perkotaan pada tahun 2016-2020.
Gerakan tersebut bersandar pada data-data fsik dan non fsik. Ada tujuh indikator kumuh yang terkait data fsik, yaitu: kondisi bangunan hunian, jalan lingkungan, drainase lingkungan, pembuangan air limbah, penyediaan air bersih dan air minum, pengelolaan persampahan, dan pengamanan bahaya kebakaran. Sedangkan data non fsik yang terkait dengan infrastruktur permukiman meliputi: legalitas pendirian bangunan, kepadatan penduduk, mata pencarian penduduk, penggunaan daya listrik, fasilitas pelayanan kesehatan dan fasilitas pelayanan pendidikan.
Seluruh data tersebut akan dijadikan sebagai data 100-0-100, yang nantinya dapat diukur secara periodik pencapaiannya sampai dengan tahun
2019 oleh pemerintah kota terkait. Yang menjadi pijakan dari Program KOTAKU ini adalah Program Nasional Pemberdayaan Masyarakat (PNPM) Mandiri Perkotaan. Dimana program tersebut telah memberikan investasi berharga berupa terbangunnya kelembagaan tingkat masyarakat, kerja sama antara masyarakat dan pemerintah daerah, sistem monitoring dan kapasitas tim pendamping.
Secara umum, tujuan Program Kotaku adalah meningkatkan akses terhadap infrastruktur dan pelayanan dasar di kawasan kumuh perkotaan untuk mendukung terwujudnya permukiman perkotaan yang layak huni, produktif dan berkelanjutan.
Adapun manfaat dan target dari program ini adalah meningkatnya akses masyarakat terhadap infrastruktur dan pelayanan perkotaan pada kawasan kumuh meningkat, antara lain: drainase; air bersih/ minum; pengelolaan persampahan; pengelolaan air limbah; pengamanan kebakaran; Ruang Terbuka Hijau/ Publik. Dengan program ini luas kawasan kumuh diharapkan terus berkurang. Selain itu, Kelompok Kerja Perumahan dan Kawasan Permukiman (Pokja PKP) di tingkat kota/kabupaten yang mendukung program KOTAKU tersebut, harus terbentuk dan berfungsi.
Lingkup sasaran program ini terdiri dari penanganan permukiman kumuh menuju kota tanpa permukiman kumuh, difokuskan pada
upaya peningkatan kualitas di kawasan perkotaan dengan tetap mempertimbangkan perlunya upaya pencegahan dalam menyelesaikan permasalahan permukiman kumuh.
Penanganan dan Pencegahan
Ada dua aktivitas besar dalam Program Kotaku, yaitu penanganan dan pencegahan. Penanganan meliputi upaya menangani dan meningkatkan kualitas permukiman kumuh yang ada. Pada tahun 2016, penanganan diawali dengan: pemetaan swadaya untuk profl kumuh dan perencanaan
partisipatif penanganan kumuh. Sedangkan tahun 2017-2021:pelaksanaan kegiatan ND/PLPBK untuk investasi infrastruktur penanganan kumuh
di 2.594 kelurahan/desa, investasi infrastruktur penanganan kumuh di 100 kota/kabupaten, serta kegiatan pengelolaan untuk mencegah menjadi
kumuh kembali.
Adapun pencegahan kumuh dilakukan agar tidak tumbuh lagi permukiman kumuh di daerah yang sama. Pada tahun 2016:, program ini diawali dengan
pemetaan swadaya dan perencanaan partisipatif, sedangkan pada tahun 2017 pelaksanaan kegiatan kolaborasi di 156 kota/kabupaten, serta pengembangan kapasitas sustainable livelihood di 8.473 kelurahan/desa.
Pola penanganan dan pencegahan permukiman kumuh ini dilakukan berdasarkan UU No.1 Tahun 2011 tentang Perumahan dan Kawasan Permukiman. Pencegahan dilakukan melalui kegiatan pengawasan dan pengendalian dengan melihat kesesuaian antara perizinan, standar teknis dan pemeriksaan sesuai dengan peraturan perundang-undangan. Selain itu ada pemberdayaan masyarakat untuk melaksanakan pendampingan dan pelayanan informasi.
Peningkatan kualitas dilakukan melalui pemugaran yakni perbaikan dan membangun kembali menjadi permukiman layak huni, peremajaan yakni menciptakan permukiman yang lebih baik dengan pertimbangan dapat melindungi keselamatan dan keamanan masyarakat sekitar,
namun hal tersebut terlebih dahulu menyediakan tempat tinggal bagi masyarakat, serta pemukiman kembali dengan memindahkan masyarakat, yang
sebelumnya tinggal di lokasi yang tidak mungkin dibangun kembali, tidak sesuai dengan tata ruang dan rawan bencana serta menimbulkan bahaya.
Sudah Berjalan
Kendati Program Kotaku ditargetkan berjalan efektif pada 2017, akan tetapi Kementerian PU dan PR dan beberapa daerah sudah melaksanakan
program ini lebih awal, khususnya untuk penanganan permukiman kumuh. Beberapa kegiatan yang sudah berjalan di antaranya baseline
data kumuh di 11.067 kelurahan/desa di 269 kota/kabupaten.
Penanganan kumuh juga sudah mulai dilakukan melalui pola Penataan Lingkungan Permukiman Berbasis Komunitas (PLPBK) yang dilaksanakan di 220 kelurahan/desa eksisting. Selain itu percepatan pencegahan dan peningkatan kualitas permukiman kumuh melalui kolaborasi kota di
100 kota/kabupaten.
Pada saat yang sama, beberapa daerah sudah melakukan Peningkatan Penghidupan Masyarakat Berbasis Komunitas (PPMK), di antaranya dilakukan di 845 kel/desa dan Business Development Center (BDC) di 15 kota/kab. Ada lagi pilot Pengurangan Risiko Bencana Berbasis Komunitas (PRBBK) Bencana Kebakaran di 10 kel/desa.
Untuk mendukung kegiatan yang sudah berjalan dan rencana kegiatan yang sudah berjalan dan kegiatan selanjutnya, dilakukan integrasi perencanaan. Terkait hal ini sudah ada Rencana Pembangunan Kawasan Permukiman Prioritas (RKPKP) di 84 kab/kota fasilitasi APBN dan sedang difnalisasi SIAP di 18 kab/kota melalui fasilitasi NUSP2.
Andai saja tidak ada Program Kotaku, mungkin Heri akan menjumpai sudut-sudut kota Surabaya yang masih seperti dulu: kotor, kumuh, dan semrawut. Di sisi lain, Salam juga masih berkutat di gubuk reotnya di kawasan Bubutan. Namun berkat program ini, semua gambaran kusam tentang Surabaya bisa diubah dalam waktu yang relatif singkat.
Bagaimana dengan kota anda?
Bila kita menyusuri jalur selatan Jawa, mulai Wonogiri sampai memasuki Blitar, kota kelahiran Bung Karno, maka rasa cinta tanah air kita sem Selengkapnya