Solusi Melawan Hoax
Apakah memang media online yang diblokir itu menyebarkan hoax? Masih menjadi perdebatan. Dan belum melalui putusan pengadilan yang sah apakah media tersebut memang memuat kabar bohong atau tidak. Yang pasti blokir sudah dilakukan.
Saya kira, tindakan semacam ini harus dilawan karena mengekang kebebasan informasi. Apalagi beberapa media yang diblokir itu memang dikenal kritis terhadap penguasa. Lantas, apakah blokir yang dilakukan itu efektif? Jawabnnya adalah tidak. Ibaratnya pemerintah ingin menyaring angin. Sia-sia.
Mengenai mana konten hoax dan mana yang tidak juga masih (bisa) menjadi perdebatan. Bahkan masing-masing punya persepsi sendiri. Ini juga perlu dijernihkan terlebih dahulu. Airlangga Pribadi, pengajar Fisip Airlangga menulis artikel di Kompas (11/1/2016) dengan judul "Hoax Kanker Demokrasi". Dalam artikel tersebut dicontohkan hoax yang melanda Indonesia, di antaranya terkait dengan ancaman tenaga imigran dari Tiongkok (Pen:Cina). Apakah beragam berita tentang ancaman TKI Cina itu hoax? Saya kira bukan hoax. Itu sebuah fakta.
Dalam pemberitaan media arus utama (mainstream) bahkan dengan mudah kita temukan serbuan TKI Cina, di antaranya kedapatan menanam bibit cabai yang mengandung bakteri berbahaya (Republika, 8/12/16), menjadi PSK di Indonesia (Tribunnews, 1/1/17) termasuk TKI ilegal yang bahkan bisa mendapatkan E-KTP dengan membayar uang sejumlah 8 juta (Tempo, 25/3/15). Apakah ini hoax? Saya kira tidak. Memang kalau soal data berapa TKI yang datang masih bisa kita perdebatkan. Terlepas dari jumlahnya, apakah fakta demikian bukan sebuah ancaman? Apakah masih mengatakan itu hoax?
Saya sendiri berada pada pihak yang tentu saja sepakat untuk melawan hoax atau berita palsu alias kabar bohong. Tapi, masalahnya jangan tebang pilih. Harus ada keadilan informasi. Dalam arti membiarkan saja kabar bohong yang menguntungkan penguasa atau membiarkan saja kabar bohong yang tidak ada sangkut pautnya dengan kekuasaan. Tapi ketika ada kabar bohong yang menyinggung istana, cepat sekali polisi atau aparat menangkapnya, atau melalui Kominfo memblokir begitu saja tanpa penelitian dan pengkajian yang memadai. Saya kira di sinilah duduk perkaranya.
Bagi saya, solusi paling manjur untuk melawan hoax tak lain tak bukan dengan literasi media. Bukan dengan cara represif macam pemblokiran situs atau pembungkaman suara kritis ala rezim Jokowi ini. Dengan literasi media, kita bisa menghindarkan diri dari dampak buruk kabar bohong bagi kehidupan keseharian maupun kebangsaan kita. Informasi yang keliru, tentu saja berdampak dengan laku keseharian. Apa jadinya kalau beragam keputusan penting apalagi kebijakan publik diambil berdasar kabar bohong atau berita palsu?
Dalam kajian komunikasi, literasi media memang banyak ragam pengertiannya. Tapi saya kira, prinsip gerakan literasi media salah satunya sebuah usaha yang diarahkan untuk mewujudkan kecakapan kritis dalam mengonsumsi media (bermedia) . Atau mengutip pemikiran Livingstone dalam What is Media Literacy” (2004), menjadikan khalayak berdaya.
Gerakan literasi media sebagai solusi melawan hoax saat ini perlu terus dirawat. Barangkali, semula orang hanya mengonsumsi media saja dan kemudian tersadarkan karena literasi media. Tapi, karena memandang misalnya banyak kabar bohong (hoax) yang muncul, menjadikannya tertantang untuk memproduksi konten sendiri. Saya kira, ini sebuah langkah rasional, produktif dan bisa jadi mereka bahkan kemudian berhasil membuat media sendiri. Memang, tentu saja tak mudah. Kaidah-kaidah jurnalistik dasar dan kepenulisan juga perlu diasah agar tak terperosok menjadi media abal-abal” yang kemudian, alih-alih hadir sebagai media alternatif. Akan tetapi malah menambah masalah dengan memunculkan hoax atau kabar bohong baru.
Sekali lagi, menghidupkan kembali literasi media inilah kunci dan solusi menangkal hoax. Alih-alih menebar ancaman dan tindakan hukum yang berujung pada penjara bagi masyarakat sipil maya (netizen) ala negara dengan beragam aparatnya, lebih baik pemerintah serius mengedukasi publik tentang pentingnya literasi media. Tapi, pertanyaannya, apakah pemerintah sudi memfasilitasi gerakan literasi media? Saya kira tidak. Karena gerakan literasi media bisa membuat masyarakat melek media dan tak mudah dibohongi oleh media. Dan ini tentu saja membahayakan penguasa.
Itu sebabnya, rezim ini hanya sibuk tangkap orang-orang yang dipandang merugikan penguasa saja dengan kedok isu melawan hoax. Itu sebabnya, satu-satunya solusi perlawanan terhadap hoax hanyalah dengan literasi media. Ia bisa jadi pisau bermata dua. Bisa mengenali berita bohong (hoax) sekaligus bisa membongkar pencitraan penguasa yang dilakukan oleh media arus utama (mainstream) yang mungkin mengklaim profesional tapi ternyata juga sangat partisan. Mungkin mereka berdalih tak pernah memuat kabar bohong, tapi apakah ada jaminan media itu jujur? Belum tentu. Jadi. Selamat datang di dunia literasi media agar akal sehat selalu terjaga
Sumber : http://www.rmol.co/read/2017/01/12/276070/Solusi-Melawan-Hoax-
Berita Terkait
Pandu Digital, Gerakan Milenial Melawan Hoaks
Apalagi jika dibakar oleh algoritma mesin-mesin platform media sosial yang menciptakan efek “ruang gema”. Selengkapnya
Ini Imbauan Polri Terkait Hoaks
Kepala Divisi Hubungan Masyarakat Polri Inspektur Jenderal (Pol) Setyo Wasisto meminta masyarakat untuk tidak mudah percaya dengan kabar boh Selengkapnya
Setop Penyebaran Konten Palsu
Kementrian Komunikasi dan Informatika melakukan berbagai upaya demi menekan peredaran pemberitaan palsu selama masa kampanye berlangsung. Selengkapnya